Our social:

Latest Post

Monday 30 January 2017

Ideologi Liberalisme, Mencetak Remaja Rapuh

Ideologi Liberalisme, Mencetak Remaja Rapuh
Oleh: Abu Asma
(Pembina Lembaga Dakwah Sekolah HTI Jombang)

Ilmu Bermanfaat - Benar – benar bodoh tindakan yang dilakukan seorang remaja umur 21 tahun di jombang. Nekat bunuh diri dengan terjun ke sungai Berantas dari jembatan Ploso Jombang, selasa (24/01/2017). Menurut keterangan polisi pemuda tersebut bernama Kuswantoro dari Dusun Randu Rejo, Desa Marmoyo, Kecamatan Kabuh. Pemuda tersebut nekat bunuh diri setelah bertengkar dengan pacarnya yang tidak lain merupakan siswi salah satu sekolah SMK di Kecamatan Ploso. Pertengkaran dua muda mudi yang berakibat bunuh diri tersebut diduga hanya karena cemburu.
Sebenarnya kalau kita mengamati kasus diatas bukanlah hal baru, karena banyak sekali kasus yang sama pada remaja saat ini dan terus berulang. Motifnya tidak lepas dari masalah cinta, gengsi dan harta.
Akibat Racun Liberalisme
Remaja saat ini tidak memiliki figur panutan yang bisa dicontoh, setiap hari mereka terus dijejali sinetron – sinetron lebay. Sinetron yang sama sekali tidak mendidik, mempertontonkan kehidupan yang penuh dengan hedonisme. Dari sinetron, remaja diajarkan gaya hidup yang serba mewah, pakaian up to date kendaraan kinclong, dan gadget keren akibatnya mereka gengsi terlihat sederhana. Dari sinetron mereka di kenalkan dengan aktifitas haram yang namanya pacaran, seolah remaja keren itu yang punya pacar. Sampai – sampai ada istilah “Jones” (Jomblo Ngenes) dikalangan mereka, ini sungguh menyakitkan. Seandainya mereka tidak mengikuti arus kegelapan yang ditularkan dari sinetron mereka akan diledek dan dipermalukan oleh teman – teman mereka, dianggap remaja “Kuper” kurang pergaulan, dan lain lain.
Memang begitulah racun – racun liberalisme di negeri ini, sudah menyebar ke seluruh elemen kehidupan termasuk di kalangan remaja. Liberalisme mengajarkan kehidupan yang serba bebas seolah – olah manusia bisa hidup dengan semaunya sendiri. Semuanya dianggap serba boleh, pakaian minim “you can see” dianggap gaul padahal tidak menutup aurat, pacaran dianggap hal biasa katanya motivasi belajar padahal justru sangat merugikan (buang waktu, buang duit dan dilarang dalam Islam). Kalau sampai ada masalah pertengkaran karena cemburu atau seks bebas hingga lahir anak, saling lempar tanggung jawab, akibatnya saling bunuh membunuh. Liberalisme telah mencetak remaja – remaja labil dan galau.
Perlu Ketaqwaan Personal dan Sosial
Terdapat dua faktor penyebab remaja menjadi labil dan galau yang berujung pada bunuh diri. Faktor pertama lemahnya ketaqwaan personal pada diri remaja tersebut yaitu lemahnya kontrol dan kesalahan konsep diri pada remaja tersebut. Kontrol diri yang lemah disebabkan karena lemahnya keimanan dan akidah, akibatnya setiap tindakan yang dilakukan hanya mengikuti hawa nafsu dan bisikan – bisikan syaitan. Selain hal tersebut dari sisi pemahaman (tsaqafah) islam juga kurang sehingga standar perbuatan baik dan buruk tidak mengikuti perintah Allah swt, tidak memahami apakah perbuatan yang dilakukan tersebut halal atau haram. Padahal dalam Islam telah jelas Allah SWT mengharamkan yang namanya aktifitas pacarn. Apabila mengetahui itupun biasanya hanya sebatas menjadi pelajaran yang dihafal saja tanpa adanya sebuah amalan hukum – hukum Islam dalam kehidupan keseharian. Sedangkan dari sisi konsep diri yang salah remaja tidak paham siapa sejatinya dirinya. Orientasi dan pandangan hidupnya tidak jelas darimana dia berasal, untuk apa dia hidup dan akan kemana setelah hidup. Maka jelas jika ingin Allah memuliakan hidup kita tidak ada yang lain selain bertaqwa kepadaNya, Allah SWT berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa (QS al-Hujurat [49]: 13).
Faktor kedua lemahnya ketaqwaan sosial, ada pada peran Negara dengan penerapan sistemnya, Faktor ini sangat penting karena dari faktor inilah terjaga ketaqwaan personal. Negara dengan penerapan sistemnya, memiliki tanggung jawab besar atas segala kebijakan – kebijakannya. Negara tidak boleh abai, apalagi mendukung aneka racun liberalisme yang dihembuskan dari barat. Setiap pejabat Negara yang diamanahkan untuk mengurusi umatnya harus menjaga rakyatnya, melingkupi rakyatnya dengan nasihat serta memerintah rakyat dengan hukum Islam, tidak dengan hukum yang lain.
Menasihati rakyat itu di antaranya dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan dan kemaslahatan agama dan dunia. Aneka permasalahan remaja saat ini tidak bisa dipungkiri atas lemahnya peran Negara dalam pengawasan lingkungan sekitar, pendidikan dan ekonomi.
Lingkungan sekitar mulai dari tontonan remaja, tongkrongan dan aneka lingkungan remaja. Negara wajib mengawasinya apabila dapat menjerumuskan pada kemaksiatan Negara harus membersihkannya. Seperti discotik, café café mesum, sinetron pacar – pacaran, tempat – tempat mesum, tontonan mesum, peredaran miras, dll.
Dari pendidikan, Negara juga harus memberi pendidikan yang layak. Memperhatikan berapa persen ilmu agama yang ada dalam kurikulum sekolah sekarang yang seharusnya itu mendapatkan porsi lebih banyak dibanding ilmu – ilmu umum. Bukan seperti sekarang ini, porsi ilmu agama terus dikurangi bahkan cenderung pendidikan di perjual belikan.
Ingatlah wahai para pemimpin, kalian ini diangkat untuk mengurusi umat, mengurusi kaum muslimin. Rasul SAW. bersabda:
« مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِى أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لاَ يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلاَّ لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ »
Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum Muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka (HR Muslim)
Dari sisi ekonomi ini berdampak pada aktifitas keluarga, semakin meningkatnya harga bahan – bahan pokok, maka keluarga seolah seperti robot dalam kapitalisme mereka kerja pagi hingga malam, tak banyak yang membiarkan anaknya, menelantarkan tidak peduli bagaimana agamanya, aktifitasnya yang penting dicukupi keuangannya sehingga lahirlah generasi labil dan galau sekarang ini. Negara harus paham bahwa tugas Negara adalah mencukupi kebutuhan rakyatnya, bukan mendzaliminya dengan menjerat pajak tinggi, harga bahan pokok mahal. Negara harus mendidik keluarga, keluarga diberikan pemahaman bagaimana menjadi contoh dan teladan, sehingga keluarga harus memiliki pemahaman ilmu agama yang tinggi.
Pemimpin harus memenuhi semua kebutuhan rakyat, sebagaimana yang diperingatkan Rasul SAW :
« مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ النَّاسِ شَيْئاً فَاحْتَجَبَ عَنْ أُولِى الضَّعَفَةِ وَالْحَاجَةِ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
Siapa saja yang mengurusi urusan masyarakat, lalu ia menutup diri dari orang yang lemah dan membutuhkan, niscaya Allah menutup diri dari dirinya pada Hari Kiamat (HR Muslim).
Penerapan Syariah Islam Solusi Tuntasnya
Allah SWT telah mewajibkan penguasa untuk memerintah rakyat hanya dengan syariah-Nya saja. Islam mengharamkan kaum muslimin, dan penguasa – penguasa kaum muslimin untuk mengambil sesuatu dari selain Islam apalagi dalam urusan penerapan aturan Negara. Allah SWT akan menolakNya.
Maka tidak ada sebuah pilihan hukum terbaik yang dapat menghantarkan manusia pada keberkahan selain hukum Islam. Allah SWT berfirman:
﴿فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾
Karena itu hukumilah mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu (QS al-Maidah [5]: 48).
Ketakwaan pemimpin, kesadarannya akan tanggung jawab kepemimpinan yang merupakan amanah yang akan dimintai pertangungan jawab di akhirat, hubungan penguasa dengan rakyat yang dilandasi spirit dan suasana keimanan dan penerapan hukum Islam secara kaffah tentu tidak bisa terwujud tanpa sistem pemerintahan Islam, Khilafah ar-Rasyidah. Karena itu, Khilafah ar-Rasyidah yang menerapkan syariah secara total harus sesegera mungkin diwujudkan.
Maka ketaqwaan personal dan ketaqwaan social akan benar – benar terwujud. Melahirkan generasi hebat, generasi keemasan dan generasi tangguh sebagaimana zaman ke khilafahan sebelumnya.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ
Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami akan membukakan pintu keberkahan atas mereka dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).

Sumber : http://www.visimuslim.net/2017/01/liberalisme-mencetak-remaja-rapuh.html

Friday 8 May 2015

Harus Tulus Dalam Memberi

  
Harus Tulus Dalam Memberi

          Ilmu Bermanfaat - Harus Tulus Dalam Memberi artinya kita tentu berbuat baik tentunya bukan untuk mengharap sesuatu dari orang lain. Karena kita sadar itulah peran yang harus kita mainkan. Jadi, seandainya tak ada seorang pun berterima kasih kepada anda, anda tidak perlu berkecil hati. Mungkin saja orang itu tak memahami kebaikan yang anda lakukan, karena mereka menganggap memang seharusnya anda melakukan itu. Jadi apatah nilai ucapan terima kasih orang lain.

          Biarkan saja kebaikan mengalir dari tangan anda, dan biarkan benak anda terbebas dari perasaan berjasa. Mereka adalah makhluk yang lemah sebagaimana kita lemah, apatah artinya suatu harapan dari sumber kelemahan. Akan tetapi, berharaplah dari Allah Ta’ala, Dzat yang Maha Kuat lagi Maha Kuasa. Karena itulah, Allah menceritakan orang-orang yang shalih yang berucap,

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

 “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Qalam: 9)

Kita menilai diri kita dengan mengukur apa yang kita rasa mampu untuk mengerjakannya, orang lain menilai diri kita mengukur dari apa yang telah kita perbuat.

          Nilai seseorang dilihat dari seberapa banyak kontribusi dia terhadap orang lain. Sehingga, seorang yang dikenal kebaikannya tentu lebih baik dari pada dikenal keburukannya.
          
Dalam sebuah hadits disebutkan,

« خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لاَ يُرْجَى خَيْرُهُ وَلاَ يُؤْمَنُ شَرُّهُ »

          “Sebaik-baik kalian adalah yang diharapkan kebaikannya dan dirasa aman keburukannya. Dan seburuk-buruk kalian adalah yang tidak diharap kebaikannya dan tidak dirasa aman keburukannya.” (HR. Tirmidzi (2236), dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

          Sekarang yang menjadi pertanyaan yaitu, mana mungkin seorang akan diharap kebaikannya apabila tidak dikenal kebaikannya? Sehingga, seorang yang dipandang baik di mata manusia tentu akan lebih banyak memberikan kontribusi kebaikan kepada orang lain.

          Cukuplah seseorang dikatakan celaka, ketika ia disebut namanya namun tidak dikenang kecuali keburukannya. Sebab, yang tersemat di dalam bibir-bibir manusia ketika itu adalah doa keburukan baginya. Siapa yang lebih merugi dari padanya?

          Suatu ketika, ada seorang anak merengek meminta dibelikan jagung bakar. Dengan sedikit enggan ibunya memberi selembar uang dan mengawasinya dari kejauhan. Lalu si anak dengan tekun mengikuti gerak-gerik nenek tua penjual jagung bakar memainkan kipas bambunya. Mata kanak-kanaknya membulat terheran-heran pada pletikan biji jagung, asap, serta harum yang tersebar kemana-mana. Sedang nenek tua yang berpakaian lusuh itu tersenyum melirik anak kecil yang jongkok di sampingnya. Mata tuanya meredup melayang entah kemana. Sesekali dicubitnya pipi anak itu. Kemudian diberikannya jagung bakar itu yang sejak tadi si anak berharap-harap takjub. Si ibu menghampirinya dan mengucapkan terima kasih kepada sang nenek tua yang telah memberikan jagung dengan gratis. Si ibu lalu berkata kepada si ayah, “Lumayan kita dapat rejeki satu jagung bakar.” Lalu mereka meninggalkan taman kota itu dengan kendaraan roda empat mereka.

          Mari kita renungi. Mengapa ia menyebutnya sebagai rejeki? Bukankah dengan demikian si nenek itu justru kehilangan sebagian penghasilannya yang tak seberapa? Tidakkah anda terpanggil untuk membalas pemberian itu dengan sesuatu yang lebih dari sekedar ucapan terima kasih? Memang, menerima selalu menyenangkan. Namun, memberi dengan sikap tulus lebih membahagiakan. Tahukah kita? Hati nenek itu teramat terang, jauh lebih terang dari pada lampu yang menyinari taman di waktu senja.

          Allah Ta’ala berfirman menggambarkan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan-Nya,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

          “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274)

          Ya, tidak ada kesedihan bagi orang-orang yang dermawan, sebab semakin memberi semakin banyak kebahagiaan yang ia rasakan. Ringankan hidup anda dengan memberi kepada orang lain. Semakin banyak anda memberi semakin mudah anda memikul hidup ini.

          Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya, hidup di tepi jalan dan dilempari orang dengan batu, tetapi dibalas dengan buah.

          Cobalah anda berdiri di depan jendela, pandanglah keluar. Tanyakan pada diri sendiri apa yang sudah anda persembahkan untuk hidup ini. Pasti ada alasan kuat mengapa anda hadir di sini. Bukan untuk merengek atau meminta dunia menyanjung anda. Keberadaan anda bukan untuk kesia-siaan. Bahkan seekor cacing pun dihidupkan untuk menggemburkan tanah. Sebongkah batu dipadatkan untuk menahan sebuah gunung. Alangkah hebatnya anda dengan segala kekuatan yang anda miliki, dan itu akan terwujud jika anda mau memberikannya. (Motivasi Net, Ir. Andi Muzaki, SH, MT, hal.64)

Ingatlah, tak ada yang lebih berhak anda beri melainkan Islam sebagai puncaknya. Anda hidup bukan tanpa tujuan, tapi anda hidup untuk merealisasikan peribadatan kepada Allah di atas titian Islam. Dan ingatlah bahwa Islam selalu menganjurkan pemeluknya untuk berbagi.

          Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang dermawan, sehingga kita merasakan kebahagiaan melalui aluran tangan yang kita persembahkan kepada orang lain. Amin.

Oleh: Muizzudien Abu Turob

Do'a untuk Orang tua

Do'a untuk Orang tua

Ilmu Bermanfaat-

Pertanyaan:
          Assalamualaikum ustadz,

Bismillah..maaf mau tanya arti dari doa untuk kedua orang tua; "Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku sayangilah mereka seperti mereka menyayangi ku diwaktu kecil ku"

Minta penjelasannya bagaimana jika orang tua berlaku kasar ketika mendidik sewaktu kecil apa lagi sampai ada yang mau menggugurkan. (Ika Wahyuni)
 Jawaban:

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

          Orang tua adalah orang yang paling berjasa bagi kita. Sekiranya tidak ada orang tua, niscaya kita tidak pernah menghirup udara segar di dunia ini. Karenanya, Islam menjadikan hak-hak orang tua di atas segala hak makhluk hidup di dunia ini.

          Hak orang tua adalah hak yang wajib kita penuhi setelah hak-hak Allah ta’ala. Sampai-sampai, kalau pun mereka memaksa kita untuk berbuat maksiat dan menyekutukan Allah, kewajiban kita untuk berbakti kepadanya tidak pernah berubah. Kita tetap wajib berbakti, walau kita tidak boleh mematuhinya (dalam berbuat maksiat dan menyekutukan Allah).

          Dengan demikian, tidak ada alasan bagi anak untuk tidak berbakti walau si ibu telah berbuat durhaka kepada Allah, berbuat maksiat dan lainnya. Kesalahan ibu tidak bisa menjadi alasan bagi anak untuk berbuat salah atau membalas kesalahan dengan kesalahan. Bila dengan orang lain yang berbuat jahat saja, kita diperintahkan untuk membalasnya dengan yang baik, apalagi bila yang berbuat salah adalah ibu kita sendiri. Baca dan renungkan ayat ke-34 surat Fushshilat.

          Berbakti kepada Ayah Ibu (birrul walidain) adalah kewajiban anak dan menjadi hak orangtua. Diantaranya dengan cara mendo’akannya. Menasihati mereka bila mereka salah merupakan bagian berbakti kepada orang tua juga, namun hendaklah dilakukan dengan sabar dan tawakkal.

          Jika setelah dinasihati kedua orang tua tidak berubah maka selalu upayakan untuk melantunkan doa agar Allah memberi hidayah untuk kedua orang tuanya. Jangan putus berdo’a, ulangi dan jangan merasa bosan untuk mendoakan kedua orang tua kita. Seberapa pun kecewanya kita terhadap orang tua, mereka tetap punya hak untuk dihormati, diperlakukan dengan baik dan didoakan.

          Jangan bosan mengetuk pintu langit karena pintu Allah selalu terbuka dari doa hamba-Nya.


Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Sabiq Muslim

sumber : http://www.donasidakwahcenter.com/2015/03/pertanyaan-assalamualaikum-ustadz.html

Wednesday 6 May 2015

Sangat Menginspirasi, Anak Petani lulus dengan Predikat Cumlaude di Luar Negri

Sangat Menginspirasi, Anak Petani lulus dengan Predikat Cumlaude di Luar Negri

Ilmu Bermanfaat - Saya Angkat topi untuk Heni Sri Sundani. Anak petani miskin di Ciamis ini, sepuluh tahun lalu berangkat ke Hongkong menjadi TKW. Satu Tekadnya kala itu, "Berangkat TKW, Pulang Sarjana". Saat Dua tahun pertama dia disana untuk adaptasi. Tahun ketiga dia baru merangkap antara menjadi TKW dan manjadi Mahasiswi. dan setelah itu Empat tahun kemudian dia pulang dengan gelar sarjana ekonomi. Hebatnya dia lulus dengan predikat Cumlaude, Selain mengantongi ijazah cumlaude dia juga membawa 3.000 buku koleksinya selama di Hongkong, dia bikin perpustakaan desa. Bukan hanya itu. Heni menyertakan pula 17 judul buku yang diterbitkan dari tulisan2nya. Kok bisa? Selama di Hongkong, Heni menyempatkan jadi kontributor untuk koran2 berbahasa Indonesia.
Kini sudah empat tahun Heni berkiprah di tanah air. Dia dirikan kelompok petani. Kesejahteraan warga desa dia angkat dengan pendidikan ketrampilan. Anak2 petani dia didik secara gratis melalui sekolah alam yang kini jumlah muridnya mencapai 500-an. Dia beri beasiswa bagi yang berprestasi serta diobatkan bagi yang sakit.
Terkini, Heni mengikuti suami di Bogor. Bersama mahasiswa S2 IPB itu, mendirikan edu-agro di desa Jampang. Berdua menyediakan lahan pendidikan, pelatihan dan wisata di bidang pertanian. Bus2 pariwisata hilir-mudik masuk ke komplek AgroEdu Jampang Wisata. Berisi ratusan murid2 sekolah dari luar kota yang ingin tahu seluk-beluk pertanian. Inspirasi untuk kita semua!

Tuesday 5 May 2015

Apakah Diperbolehkan Membakar Al Qur'an ?

Apakah Diperbolehkan Membakar Al Qur'an ?
 
Ilmu Bermanfaat -


Pertanyaan:
Assalamualaikum ustadz...

Apakah boleh kita membakar al-Quran yang sudah tidak layak pakai lagi ( lapuk ). Jazakumullahu khoiron atas jawabannya. (Wis. Y Jauzah Arif)
Jawaban:

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Apabila al-Qur’an sudah rusak dan tidak layak pakai, maka ada dua cara yang bisa dilakukan:

Pertama: Hendaknya al-qur’an dikubur di tempat yang bersih,  Jauh dari lewatan orang dan jauh dari tempat pembuangan kotoran, sebagaimana tubuh orang-orang mukmin yang suci dikuburkan di tanah yang bersih jauh dari kotoran.

Kedua: Boleh untuk membakarnya dengan dalil apa yang dilakukan kholifah Utsman bin Affan ketika memerintahkan mushaf-mushaf yang ada di tangan orang-orang untuk dibakar setelah dilakukan proses pengumpulan menjadi satu tulisan. Sebagaimana tersebut dalam riwayat Imam Bukhori,

أَرْسَلَ عُثْمَانُ إِلَى حَفْصَةَ أَنْ أَرْسِلِي إِلَيْنَا بِالصُّحُفِ نَنْسَخُهَا فِي الْمَصَاحِفِ ثُمَّ نَرُدُّهَا إِلَيْكِ ، فَأَرْسَلَتْ بِهَا حَفْصَةُ إِلَى عُثْمَانَ ، فَأَمَرَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ ، وَسَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ ، وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ ، فَنَسَخُوهَا فِي الْمَصَاحِفِ ...وَأَرْسَلَ إِلَى كُلِّ أُفُقٍ بِمُصْحَفٍ مِمَّا نَسَخُوا ، وَأَمَرَ بِمَا سِوَاهُ مِنْ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ صَحِيفَةٍ أَوْ مُصْحَفٍ أَنْ يُحْرَقَ

Kemudian Utsman mengirim (utusan) ke Hafshoh agar beliau mengirim kepada kami mushaf untuk ditulis ulang lagi di mushaf kemudian dikembalikan kepadanya. Kemudian Hafsah mengirimnya ke Utsman. Dan (Utsman) memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menulis kembali di mushaf. Kemudian mengirim mushaf yang telah ditulis kembali ke seluruh daerah. Dan beliau memerintahkan agar membakar semua mushaf Al-Qur’an dan lembaran (AL-Qur’an) selain dari yang ditulis ulang.

Dalam Fatawa Al-lajnah Ad-Daimah dikatakan, “Apa yang sobek dari Mushaf, kitab dan kertas-kertas yang ada di dalamnya ayat-ayat Al-Qur’an, dikubur di tempat bersih. Jauh dari lewatan orang dan dari tempat pembuangan kotoran. Atau dibakar, untuk menjaga dan melindungi dari pelecehan. Sebagaimana prilaku Utsman radhiallahu’anhu.
Tambahan Penting

Imam Suyuti mengatakan: Jika dibutuhkan untuk menghancurkan sebagian kertas mushaf karena sudah usang atau sebab lainnya maka tidak boleh diselipkan di tempat tertentu, karena bisa jadi terjatuh dan diinjak. Tidak boleh juga disobek-sobek, karena akan memotong-motong hurufnya tanpa aturan dan merusak tatanan kalimat, dan semua itu termasuk sikap tidak menghormati tulisan Alquran (Al Itqon fi ulum Al-Qur’an, Maktabah syamilah). Wallahu A’lam


Oleh:  Joko Imanuddin


Editor, Sabiq Muslim

Sumber : http://www.donasidakwahcenter.com/2015/03/bolehkan-membakar-al-quran.html

“dan Ketika Al-Quran Diinjak Lagi”



Oleh: Dr. Adian Husaini

Ilmu Bermanfaat - UMAT Islam Indonesia kembali digemparkan dengan kejadian pelecehan terhadap Kitab Suci al-Quran. Kali ini peristiwa itu terjadi di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) Padang. Dosen berinisial Mk, itu akhirnya diberhentikan pihak kampus.
Pada 9 April 2015, dosen yang bersangkutan sudah menandatangani surat perjanjian dengan pihak kampus. Ia berjanji: (1) menyesali perbuatan menginjak al-Quran di depan mahasiswa yang dilakukannya pada 1 April 2015, dan (2) tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut dan sejenisnya, kapan pun dan di mana pun.
Pada titik ini kita bersyukur, si dosen yang lahir tahun 1985 itu menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tetapi, pada sisi lain, kita perlu menelaah masalah ini dengan cermat, sebab peristiwa seperti ini – yakni pelecehan al-Quran bahkan kejadian menginjak Kitab Suci al-Quran – bukan yang pertama kali terjadi.
Dosen UMSB itu sebenarnya hanyalah salah satu korban dari pemikirannya sendiri, bahwa Mushaf al-Quran yang tercetak itu bukanlah sesuatu yang suci. Al-Quran yang suci itu ada di Lauh al-Mahfud.  Sekedar menyegarkan ingatan kita kembali, ada baiknya kita telusuri penyebaran gagasan “desakralisasi al-Quran” selama 15 tahun terakhir ini.
Tahun 2009 lalu, saya pernah menulis satu catatan tentang penistaan al-Quran yang dilakukan oleh sejumlah akademisi di Perguruan Tinggi Islam. Dalam satu acara seminar  di Mataram NTB, November 2009, seorang tokoh menceritakan, bahwa ia sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa yang bertanya kepadanya: ”Apakah Al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?” Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa,  apakah dia benar-benar manusia atau dianggap manusia?”
Kita paham, bahwa salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa al-Quran bukan kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, seorang dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Surabaya, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak.
Tahun 2004, ada satu tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doktor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:
“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” (Lihat buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal. 123).  
Dalam sebuah artikel berjudul “Merenungkan Sejarah Alquran” yang dimuat dalam buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), disebutkan:
 “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa.”
 Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekedar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI, 2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam:
 “Dalam studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figur yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
Dalam Jurnal Justisia,  Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai artikel dengan judul-judul yang melecehkan al-Quran dan menghina para sahabat Nabi Muhammad saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa Quraisy”,  “Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta Kecelakaan Sejarah”,  “Kritik Ortodoksisme: Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”, dan sebagainya.
Belum lama ini juga sudah beredar satu buku berjudul Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya  karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Penulisnya adalah juga penulis buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan.
Tentang Mushaf Usmani, buku ini menulis: ”Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa proses pembukuan Al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)… ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya jika diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)…”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, seperti milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).
Tentu saja tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman bin Affan sangat tidak mendasar.  Fakta sejarah menunjukkan, bahwa dalam kodifikasi Mushaf Utsmani sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., karena memang kodifikasi Al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi berbagai konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat Al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap menjadikan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebenarnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.
Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang Al-Quran dengan berbagai cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini sekarang dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri.  Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menjiplak begitu saja pendapat pemikir liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa sikap kritis sedikit pun, penulis buku itu menuduh Imam Syafii:”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).
Tentu sangatlah tidak beradab memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar seperti Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memberikan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam . Umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan tentu, umat Islam juga sangat mencintai para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih.
Berbagai kasus pelecehan bahkan penginjakan al-Quran yang terjadi di sejumlah Perguruan Tinggi Islam itu menunjukkan semakin mendesaknya mahasiswa Muslim diberikan mata kuliah yang benar tentang “Filsafat Ilmu” atau “Konsep Ilmu dalam Islam”.  Dosen UMSB itu yang menginjak al-Quran itu juga dosen mata kuliah “Filsafat Ilmu”.  Dosen itu pun tampak menjadi korban dari pelajaran Filsafat Ilmu yang dipelajari dan diajarkan kepada mahasiswanya, sehingga terjebak pada pikirannya yang keliru.
Beberapa waktu lalu, saya dan sejumlah dosen di Universitas Ibn Khaldun Bogor sudah menerbitkan buku “Filsafat Ilmu: Perspektif Islam dan Barat” yang menjelaskan perbedaan konsep yang mendasar antara Islam dan Barat tentang ilmu. Buku ini diakhiri pembahasan tentang adab ilmu.  Adab keilmuan inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan Al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan sikap kiritis.
Huruf hijaiyyah yang digunakan untuk menulis Kalamullah dalam al-Quran telah menjadi suci, karena menulis Kalam Yang Maha Suci. Kain merah putih yang disusun sebagai bendera Indonesia berbeda sifatnya dengan kain merah putih biasa. Gambar burung garuda yang dijadikan simbol Negara Indonesia telah “disakralkan” dalam kadar tertentu, dan  tidak boleh diganti dengan burung emprit.  Si dosen itu pun tidak akan berani menginjak-injak tulisan nama ayahnya, di depan ayahnya, dengan mengatakan, bahwa tulisan itu tidak sama dengan ayahnya. Tulisan itu tidak suci dan hanya simbol!
Memang, huruf itu simbol. Tapi, janganlah kita bermain-main, apalagi melecehkan simbol-simbol kesucian. Syukurlah, kasus pelecehan al-Quran di UMSB itu segera ditangani dengan cepat dan pelakunya mengakui kesalahannya. Semoga Allah tidak sampai menurunkan musibah “lumpur abadi” dan sejenisnya di Sumatra Barat. Innallaaha ghafurun rahiimun. Allah Maha Pengampun, Allah Maha Penyayang.*/Bogor, 24 April 2015  
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar


Saat Pemblokiran 22 Situs Yang Masih Menyisakan Pertanyaan Besar Yang Belum Ada Jawaban


Saat Pemblokiran 22 Situs Yang Masih Menyisakan Pertanyaan Besar Yang Belum Ada Jawaban

Ilmu Bermanfaat - Lebih dari sebulan lalu terjadi kasus pemblokiran terhadap 22 situs media Islam meski akhirnya dinormalisasikan kembali. Namun, hal itu masih menyisakan pertanyaan besar yang sampai sekarang belum mampu terjawab.
Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Pemimpin Redaksi (Pemred) hidayatullah.com, Mahladi ketika menjadi pembicara dalam acara diskusi untuk memperingati hari kebebasan pers sedunia dengan tema “Kebebasan dan Penistaan” di Hall Gedung Dewan Pers Lantai 1 Jalan Kebon Sirih Jakarta, Senin (04/05/2015) kemarin.
“Atas alasan apa situs kami ini diblokir? Pertanyaan itu sampai sekarang belum kami dapatkan jawabannya,” tanya Mahladi.
Sebab, menurut Mahladi jawaban dari pertanyaan (pertama, red) itu sangat penting untuk menjawab pertanyaan berikutnya, “Bagaimana supaya kejadian ini (pemblokiran terhadap situs media Islam, red) tidak terulang lagi?”.
Masih menurut Mahladi, pertanyaan kedua itu tidak akan bisa terjawab jika pertanyaan yang pertama tidak terjawab. Oleh sebab itu, lanjutnya, pertanyaan yang pertama harus muncul jawabannya terlebih dahulu.
“Setelah saya berpikir, ternyata pokok permasalahannya adalah satu kata yaitu radikal,” ungkap Mahladi.
Kemudian muncul tiga pertanyaan besar dalam benak Mahladi, “Apa arti kata radikal yang sebenarnya? Apa bahayanya radikal? Dan apa kriteria sebuah situs dikatakan radikal?”.
“Sampai sekarang pertanyaan-pertanyaan itu juga belum terjawab sama sekali,” tegas Mahladi.
Sementara itu, Mahladi menyampaikan jika telah menguhubungi beberapa tokoh masyarakat dan ulama untuk menanyakan istilah radikal, terkait dengan  definisi dari radikal. Definisi radikal itu menurut beberapa ulama adalah menjalankan ajaran agama hingga sampai ke akar-akarnya (atau secara mendaresar, red).
“Saya juga membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari radikal yaitu melakukan perubahan secara cepat. Namun, oleh BNPT diembel-embeli dengan kekerasan,” pungkas Mahladi.*